Sudah sangat kita kenal ungkapan yang mengatakan
semua berawal dari niat, dan kita juga paham bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda,
meski dalam hal ini saya tidak terlalu setuju karena selama ini jika gagal dan
kita tidak pernah mencoba kembali maka kegagalan tidak akan berubah menjadi
kesuksesan.
Nampaknya
benar bahwa teori lebih mudah dipelajari dari pada praktek hal ini seharusnya
menjadi pelajaran berharga bagi kami yang pada satu masa menamakan diri Fatmah Ekspedition yang harus mengalami
kegagalan di petualangan pertama dan akhirnya menjadi petualangan terakhir yang
diikuti anggota lengkap karena meskipun ditebus oleh satu petualangan lain oleh
sebagian anggota namun tetap saja kegagalan ekspedisi pertama terasa begitu
menyakitkan.
Bermula
ketika memasuki masa akhir studi yaitu menyelesaikan tugas akhir skripsi.
Ditengah tekanan mental untuk segera menyelesaikan skripsi dan juga tingkah polah dosen pembimbing yang
kadang nyebeli tur maregi maka menjadi pilihan cerdas untuk sejenak refresing menyegarkan pikiran dari
kepenatan rutinitas bimbingan yang pada saat itu tidak pasti untuk sampai
kapan. Pilihan pun tertuju pada hiking
ke Pegunungan Telomoyo yang terletak di perbatasan Magelang dan Kabupaten
Semarang.
Persiapan pun dilakukan dengan
menyusun map perjalanan serta mencari
guide sebagai pendamping. Kita
memutuskan untuk tidak membawa kendaraan dengan pertimbangan keamanan dan
dititipkan di rumah teman di Magelang setelah menempuh perjalanan 45 menit dari
Kota Jogja. Sesampainya disana, rombongan harus menyusuri jalan beraspal untuk
sampai ke puncak dengan perkiraan waktu sekitar 30 menit. Karena dianggap tidak menantang naik gunung tetapi
lewat jalan aspal maka tercetuslah ide untuk memotong jalan mencari jalan
sendiri melewati rimbunan pohon, semak dan ilalang. Setelah mendapat
persetujuan termasuk dari guide dadakan
maka kami pun mencari jalan sendiri padahal itu untuk pertama kali menapak di
Telomoyo dan tentu saja beresiko.
Dengan rasa percaya diri
dan semangat kami melalui jalan setapak yang nampaknya sering digunakan
penduduk sekitar. Hal ini menambah keyakinan kami untuk tetap melanjutkan
perjalanan. Naik, naik dan terus mendaki sesekali beristirahat memandang
sekitar yang nampak indah melihat kota dari ketinggian tidak lupa narsis untuk kenang-kenangan.
Tim semakin jauh memasuki hutan garapan
berlatar pohon pinus lengkap dengan semak ilalang serta panas terik pertanda hari
makin siang. Sampai saat itu, kami merasa semuanya baik-baik saja jalan setapak
masih nampak jelas walau kami tidak tahu kemana jalan ini akan berakhir. Yang
pasti, kami harus tetap melaju ke atas sampai ke puncak. Akhirnya tim terdepan
mulai kehilangan jejak jalan dan berhadapan dengan sulur berduri serta ilalang
rapat rimbun terasa perih saat mengenai kulit. Tim tidak membawa peralatan apa
pun hanya jacket dan tas berisi air mineral. Kami memaksa untuk melanjutkan,
ilalang itu pun kami terabas dengan hanya sepatu dan jacket melindungi badan.
Injak dan terus injak hanya itu yang bisa dilakukan sampai akhirnya kami
terbebas dan kembali menemukan jalan. Sebenarnya kami tidak tahu itu jalan
setapak atau bukan.
Kerongkongan terasa kering, kulit terbakar
matahari perih terkena alang-alang. Kemudian sampai disebuah tempat yang tinggi dimana kita dapat melihat ke
segala arah nun jauh di sana Pegunungan Sindoro-Sumbing dan pemukiman penduduk
nampak ramai entah daerah apa tidak begitu jelas. Tim istirahat masing-masing
menatap kosong entah apa yang dipikirkan, sejenak membayangkan seandainya
sekarang di costan waktunya pergi ke warung depan indomart membeli makan lauk
tempe dua seharga Rp 4.000,- dan 1 ler
Djarum Super disambi liat Awas ada
Sule hidup terasa damai (hehe....).
Beberapa dari kami mencoba memulai mencari
jalan keluar nampaknya di depan kami adalah semak belukar liar yang mustahil
kami terabas tanpa peralatan. Lainya masih terduduk terdiam menikmati
sepoi-sepoi angin pegunungan memakan bekal yang tersisa karena perut sudah
terasa lapar yaitu roti dan sriping (?).
Kami tidak menemukan jalan keluar dari tempat itu kecuali turun. Kami kembali
terdiam karena sepertinya kita tidak akan pernah sampai ke puncak. Sangat
disayangkan setelah perjuangan mendaki yang tidak mudah. Mencari dan terus
berusaha melewati semak belukar namun tetap sia-sia meski puncak sepertinya
sudah mulai terlihat.
Dengan pertimbangan waktu
yang semakin siang belum lagi perjalanan pulang maka dengan berat hati
rombongan turun dengan tidak mencapai puncak. Sangat kecewa, padahal jika melewati
jalan beraspal pasti hasilnya akan berbeda. Rombongan pun turun gunung membawa
perasaan dongkol meskipun menyetujui untuk segera pulang. Seperti biasa
perjalanan pulang terasa lebih cepat dan anehnya kami selalu menemukan jalan
setapak sehingga kami cepat sampai di jalan beraspal untuk kembali pulang. Kami
dalam hati tertawa ada jalan mudah namun kami pilih tidak menggunakanya. Namun
bagi kami petualangan ini akan menjadi kenangan tak terlupakan kebersamaan yang
mungkin tidak akan terulang kembali mengingat dalam beberapa bulan setelahnya,
kami dinyatakan lulus dan menempuh jalan masing-masing. Salam untuk semua dari Fatmah Ekspedition.(jr/march2012).
No comments:
Post a Comment