Wednesday, 11 May 2016

Telomoyo Gagal...

Sudah sangat kita kenal ungkapan yang mengatakan semua berawal dari niat, dan kita juga paham bahwa  kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, meski dalam hal ini saya tidak terlalu setuju karena selama ini jika gagal dan kita tidak pernah mencoba kembali maka kegagalan tidak akan berubah menjadi kesuksesan.
                Nampaknya benar bahwa teori lebih mudah dipelajari dari pada praktek hal ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kami yang pada satu masa menamakan diri Fatmah Ekspedition yang harus mengalami kegagalan di petualangan pertama dan akhirnya menjadi petualangan terakhir yang diikuti anggota lengkap karena meskipun ditebus oleh satu petualangan lain oleh sebagian anggota namun tetap saja kegagalan ekspedisi pertama terasa begitu menyakitkan.
                Bermula ketika memasuki masa akhir studi yaitu menyelesaikan tugas akhir skripsi. Ditengah tekanan mental untuk segera menyelesaikan skripsi dan juga tingkah polah dosen pembimbing yang kadang nyebeli tur maregi  maka menjadi pilihan cerdas untuk sejenak refresing menyegarkan pikiran dari kepenatan rutinitas bimbingan yang pada saat itu tidak pasti untuk sampai kapan. Pilihan pun tertuju pada hiking ke Pegunungan Telomoyo yang terletak di perbatasan Magelang dan Kabupaten Semarang. 

                Persiapan pun dilakukan dengan menyusun map perjalanan serta mencari guide sebagai pendamping. Kita memutuskan untuk tidak membawa kendaraan dengan pertimbangan keamanan dan dititipkan di rumah teman di Magelang setelah menempuh perjalanan 45 menit dari Kota Jogja. Sesampainya disana, rombongan harus menyusuri jalan beraspal untuk sampai ke puncak dengan perkiraan waktu sekitar 30 menit. Karena  dianggap tidak menantang naik gunung tetapi lewat jalan aspal maka tercetuslah ide untuk memotong jalan mencari jalan sendiri melewati rimbunan pohon, semak dan ilalang. Setelah mendapat persetujuan termasuk dari guide dadakan maka kami pun mencari jalan sendiri padahal itu untuk pertama kali menapak di Telomoyo dan tentu saja beresiko. 


Dengan rasa percaya diri dan semangat kami melalui jalan setapak yang nampaknya sering digunakan penduduk sekitar. Hal ini menambah keyakinan kami untuk tetap melanjutkan perjalanan. Naik, naik dan terus mendaki sesekali beristirahat memandang sekitar yang nampak indah melihat kota dari ketinggian tidak lupa narsis untuk kenang-kenangan.

Tim semakin jauh memasuki hutan garapan berlatar pohon pinus lengkap dengan semak ilalang serta panas terik pertanda hari makin siang. Sampai saat itu, kami merasa semuanya baik-baik saja jalan setapak masih nampak jelas walau kami tidak tahu kemana jalan ini akan berakhir. Yang pasti, kami harus tetap melaju ke atas sampai ke puncak. Akhirnya tim terdepan mulai kehilangan jejak jalan dan berhadapan dengan sulur berduri serta ilalang rapat rimbun terasa perih saat mengenai kulit. Tim tidak membawa peralatan apa pun hanya jacket dan tas berisi air mineral. Kami memaksa untuk melanjutkan, ilalang itu pun kami terabas dengan hanya sepatu dan jacket melindungi badan. Injak dan terus injak hanya itu yang bisa dilakukan sampai akhirnya kami terbebas dan kembali menemukan jalan. Sebenarnya kami tidak tahu itu jalan setapak atau bukan.
Kerongkongan terasa kering, kulit terbakar matahari perih terkena alang-alang. Kemudian sampai disebuah tempat yang tinggi dimana kita dapat melihat ke segala arah nun jauh di sana Pegunungan Sindoro-Sumbing dan pemukiman penduduk nampak ramai entah daerah apa tidak begitu jelas. Tim istirahat masing-masing menatap kosong entah apa yang dipikirkan, sejenak membayangkan seandainya sekarang di costan waktunya pergi ke warung depan indomart membeli makan lauk tempe dua seharga Rp 4.000,- dan 1 ler Djarum Super disambi liat Awas ada Sule hidup terasa damai (hehe....). 

Beberapa dari kami mencoba memulai mencari jalan keluar nampaknya di depan kami adalah semak belukar liar yang mustahil kami terabas tanpa peralatan. Lainya masih terduduk terdiam menikmati sepoi-sepoi angin pegunungan memakan bekal yang tersisa karena perut sudah terasa lapar yaitu roti dan sriping (?). Kami tidak menemukan jalan keluar dari tempat itu kecuali turun. Kami kembali terdiam karena sepertinya kita tidak akan pernah sampai ke puncak. Sangat disayangkan setelah perjuangan mendaki yang tidak mudah. Mencari dan terus berusaha melewati semak belukar namun tetap sia-sia meski puncak sepertinya sudah mulai terlihat.
 
Dengan pertimbangan waktu yang semakin siang belum lagi perjalanan pulang maka dengan berat hati rombongan turun dengan tidak mencapai puncak. Sangat kecewa, padahal jika melewati jalan beraspal pasti hasilnya akan berbeda. Rombongan pun turun gunung membawa perasaan dongkol meskipun menyetujui untuk segera pulang. Seperti biasa perjalanan pulang terasa lebih cepat dan anehnya kami selalu menemukan jalan setapak sehingga kami cepat sampai di jalan beraspal untuk kembali pulang. Kami dalam hati tertawa ada jalan mudah namun kami pilih tidak menggunakanya. Namun bagi kami petualangan ini akan menjadi kenangan tak terlupakan kebersamaan yang mungkin tidak akan terulang kembali mengingat dalam beberapa bulan setelahnya, kami dinyatakan lulus dan menempuh jalan masing-masing. Salam untuk semua dari Fatmah Ekspedition.(jr/march2012).


     

No comments:

Post a Comment